Selasa, 26 Mei 2009

Budaya daerah Indonesia

Kebudayaan Daerah Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.

Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.












Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.

Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.

Kebudayaan tradisional Indonesia


Rumah adat

  • Aceh
  • Sumatera Barat : Rumah Gadang
  • Sumatera Selatan : Rumah Limas
  • Jawa : Joglo
  • Irian : Honai
  • Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla Lompoa (Makassar Gowa)
  • Sulawesi Utara: Rumah Panggung
Tarian

* Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog.
* Bali: Kecak, Barong/ Barongan.
* Maluku: Cakalele
* Aceh: Saman, Seudati.
* Melayu: Serampang Duabelas, Joget Lambak, Zapin, Tari Tanggai
* Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
* Betawi: Yapong
* Sunda: Jaipong, Reog, Tari Topeng

* Batak Toba: Tortor
* Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4 Etnis
Lagu

* Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung.
* Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama
* Melayu : Soleram, Tanjung Katung
* Minangkabau : Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai Garinggiang
* Aceh : Bungong Jeumpa
* Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
* Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
* Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
* Anju Ahu (Sumatera Utara)
* Apuse (Papua)
* Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
* Barek Solok (Sumatera Barat)
* Batanghari (Jambi)
* Bolelebo (Nusa Tenggara Barat)
* Bubuy Bulan (Jawa Barat)
* Buka Pintu (Maluku)
* Bungong Jeumpa (Aceh)
* Burung Tantina (Maluku)
* Butet (Sumatera Utara)
* Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
* Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
* Cing Cangkeling (Jawa Barat)
* Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
* Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
* Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
* Dayung Sampan (Banten)
* Dek Sangke (Sumatera Selatan)
* Desaku (Nusa Tenggara Timur)
* Esa Mokan (Sulawesi Utara)
* Es Lilin (Jawa Barat)
* Gambang Suling (Jawa Tengah)
* Gek Kepriye (Jawa Tengah)
* Goro-Gorone (Maluku)
* Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
* Gundul Pacul (Jawa Tengah)
* Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
* Huhatee (Maluku)
* Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
* Indung-Indung (Kalimantan Timur)
* Injit-Injit Semut (Jambi)
* Jali-Jali (Jakarta)
* Jamuran (Jawa Tengah)
* Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
* Kalayar (Kalimantan Tengah)
* Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
* Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
* Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
* Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
* Keraban Sape (Jawa Timur)
* Keroncong Kemayoran (Jakarta)
* Kicir-Kicir (Jakarta)
* Kole-Kole (Maluku)
* Lalan Belek (Bengkulu)
* Lembah Alas (Aceh)
* Lisoi (Sumatera Utara)
* Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
* Malam Baiko (Sumatera Barat)
* Mande-Mande (Maluku)
* Manuk Dadali (Jawa Barat)
* Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
* Mejangeran (Bali)
* Mariam Tomong (Sumatera Utara)
* Moree (Nusa Tenggara Barat)
* Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
* O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
* Ole Sioh (Maluku)
* Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
* O Ulate (Maluku)
* Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
* Pakarena (Sulawesi Selatan)
* Panon Hideung (Jawa Barat)
* Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
* Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
* Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
* Pileuleuyan (Jawa Barat)
* Pinang Muda (Jambi)
* Piso Surit (Aceh)
* Pitik Tukung (Yogyakarta)
* Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
* Rambadia (Sumatera Utara)
* Rang Talu (Sumatera Barat)
* Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
* Ratu Anom (Bali)
* Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
* Sarinande (Maluku)
* Selendang Mayang (Jambi)
* Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
* Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
* Sing Sing So (Sumatera Utara)
* Sinom (Yogyakarta)
* Si Patokaan (Sulawesi Utara)
* Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
* Soleram (Riau)
* Surilang (Jakarta)
* Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
* Tanduk Majeng (Jawa Timur)
* Tanase (Maluku)
* Tari Tanggai (Sumatera Selatan)
* Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
* Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
* Tokecang (Jawa Barat)
* Tondok Kadadingku (Sulawesi Tengah)
* Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
* Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
* Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
* Terang Bulan (Jakarta)
* Yamko Rambe Yamko (Papua)
* Bapak Pucung (Jawa Tengah)
* Yen Ing Tawang Ono Lintang (Jawa Tengah)
* Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
* Anging Mamiri, Sulawesi Parasanganta (Sulawesi Selatan)
* bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)

Musik

* Jakarta: Keroncong Tugu.
* Maluku :
* Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
* Minangkabau :
* Aceh :
* Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik

[sunting] Alat musik

* Jawa: Gamelan.
* Nusa Tenggara Timur: Sasando.
* Gendang Bali
* Gendang Karo
* Gendang Melayu
* Gandang Tabuik
* Sasando
* Talempong
* Tifa
* Saluang
* Rebana
* Bende
* Kenong
* Serunai
* Jidor
* Suling Lembang
* Suling Sunda
* Dermenan
* Saron
* Kecapi
* Bonang
* Kendang Jawa
* Angklung
* Calung
* Kulintang
* Gong Kemada
* Gong Lambus
* Rebab
* Tanggetong
* Gondang Batak
* Kecapi, kesok-Kesok Bugis-makassar, dan sebagainya

Gambar

* Jawa: Wayang.
* Tortor: Batak

Patung

* Jawa: Patung Buto, patung Budha.
* Bali: Garuda.
* Irian Jaya: Asmat.

Pakaian

* Jawa: Batik.
* Sumatra Utara: Ulos.
* Sumatra Barat/ Melayu: Songket
* Lampung : Tapis
* Sasiringan
* Tenun Ikat
* Bugis - MakassarBaju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu

Suara

* Jawa: Sinden.
* Sumatra: Tukang cerita.

Sastra/tulisan

* Jawa: Babad Tanah Jawa, karya-karya Ronggowarsito.
* Bali: karya tulis di atas Lontar.
* Sumatra bagian timur (Melayu): Hang Tuah
* Sulawesi Selatan Naskah Tua Lontara

Dalam proses modernisasi hampir-hampir tidak bisa dibatasi ruang lingkup dan masalahnya, dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan seterusnya. Perkembangan dari keadaan yang tradisional menjadi lebih modern, juga terlihat pada budaya busana di Indonesia. Busana yang dikenakan oleh seseorang mempunyai makna dan pesan-pesan terselubung, bahkan busana tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelindung tetapi juga untuk memperlihatkan status sosial mereka di masyarakat.

Budaya Indonesia yang beraneka ragam senantiasamemancarkan pesona yang tidak hentinya dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang makin dalam, untuk terus menggali dan menemukenali khasanah budaya yang belum tersibak.

Jika melihat tradisi dan adapt istiadat daerah yang berbeda satu dengan lainnya, dapat pula diketahui bahwa busana dan penggunaannya berkembang, yaitu busana yang dipakai untuk kegiatan sehari-hari dan busana yang dipakai pada peristiwa-peristiwa tertentu, lengkap dengan pesan-pesan terselubung pada busana tersebut.

Pada sisi lain, busana dapat pula membedakan kedudukan dan status seseorang dalam masyarakat. Belum lagi tata rias yang selalu hadir Melengkapi orang berbusana. Pada umumnya tata rias yang dilakukan sebagian besar bangsa Indonesia tidak terlepas dari pandangan hidup maupun kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat kita perhatikan pada perilaku masyarakat di pedalaman yang menghias daun telinga hingga berlubang besar dan mentatoo tubuh mereka dengan aneka

motif tradisional. Hal tersebut di atas adalah bukti betapa erat pengaruh nilai-nilai budaya, adat istiadat serta pandangan hidup terhadap wujud busana yang berkembang dalam masyarakat di daerah.

BUDAYA BERBUSANA

Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia mempunyai derajat paling tinggi dibandingkan mahluk lainnya. Dengan akal budi yang dimiliki manusia, pada perkembangan hidupnya, ia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia hidup dan menggunakan berbagai peralatan untuk menyambung keterbatasan jasmaninya. Dengan akal dan budinya pula manusia dapat dimana saja, di tempat yang diinginkan dan menyebar diseluruh permukaan bumi ini.

Kemampuan manusia mengembangkan peralatan dan cara mengendalikan (teknologi) itu dimungkinkan karena daya piker berperlambang yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. Dengan mempergunakan lambing-lambang yang diberi makna, manusia dapat menyampaikan pemikiran dan pengetahuannya.

Jika pada mulanya manusia hanya dihadapkan pada kebutuhan yang mendasar (biological needs) kemudian berkembang semakin kompleks dan beragam, terutama kebutuhan yang baru atau kebutuhan budaya (cultural needs) antara lain kebutuhan akan adanya penutup tubuh atau busana. Cara-cara manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut tentu saja sangat beragam, sesuai dengan perbedaan kemampuan manusia. Meskipun kebudayaan Indonesia mempunyai asal-usul yang serupa namun karena keragaman geografi berupa kepulauan, juga letaknya yang bersimpangan antara dua benua besar, mengakibatkan pengaruh yang besar pula di masyarakatnya.

FUNGSI SOSIAL DAN ARTI PERLAMBANG BUSANA

Berbusana sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk melindungi tubuh dari cuaca, akan tetapi sangat berkaitan erat dengan adapt istiadat maupun pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan. Bagi masyarakat di daerah, ketika mereka berbusana pada umumnya sangat memperhatikan ragam busananya dan mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, selain tentu saja dengan kedudukan sosial si pemakai. Secara implicit, fungsi busana bagi manusia semakin berkembang dan kompleks sejalan dengan makin meningkatnya peradaban manusia.

Bangsa Indonesia yang tersebar di kepulauan nusantara ini, ternyata demikian piawai dalam menunjukkan kemampuannya mengungkap pesan-pesan budaya secara terselubung namun tetap komunikatif karena senantiasa menggunakan lambing-lambang tanpa melupakan nilai-nilai keindahan.

Di Tapanuli, dipakai Ulos yaitu sejenis selendang hasil tenunan masyarakat setempat. Ulos bukan sekedar kain atau selendang pelengkap busana adat, tetapi lebih dari itu Ulos mempunyai nilai-nilai sakral dan diyakini dapat memberikan berkah bagi pemakainya, oleh karena itu bayi yang baru lahir selalu disambut dengan Ulos, dan ketika orang meninggalpun akan diantar ke peristirahatan terakhir dengan Ulos pula (Indonesia Indah, 1988: 16)

Di Jawa Barat, beberapa motif tertentu dari busana diperuntukkan bagi raja dan keturunannya, sesuai dengan kedudukannya. Motif yang dipakai masyarakat Jawa seringkali melambangkan cita-cita dan harapan yang diinginkan pemakainya (Condronegoro: 1995:18).

Di pedalaman Kalimantan, banyak ditemukan motif-motif busana, tatarias tubuh yang mengandung makna filosofis, antara lain pada suku Dayak Kenyah, gambar masker pada topi, gambar nenek moyang pada baju (Kovo) suku Dayak Tanjung, keseluruhannyamengandung makna perlindungan pada pemakainya.

Masyarakat Bali, memiliki jenis kain Poleng yang ditandai dengan ragam hias lingkaran. Dalam alam pikiran mereka lingkaran diartikan matahari, sedangkan ragam hias kotak-kotak hitam putih melambangkan persatuan dua unsur yang berlawanan (Rwabhineda) yang ada di alam ini dan menimbulkan kekuatan magis untuk menghalau kekuatan negatif (Indonesia Indah, 1988: 17).

Ringkasnya, bagi sebagian masyarakat Indonesia berbusana bukan sekedar menyampirkan sehelai kain sebagai penutup tubuh, sebab pada umumnya di atas kain yang digunakan terlukis berbagai ragam hias yang mengungkapkan pola pemikiran tentang unsur-unsur kekuatan, cita-cita dan harapan baik untuk si pemakai atau si pembuat.

PESONA DAN MAKNA PERHIASAN TRADISIONAL DI INDONESIA

Perhiasan bukan hanya didominasi kaum perempuan saja, terbukti kaum lelakipun seringkali memakainya dalam batas-batas tertentu. Dari sekian banyaknya perhiasan di Indonesia, ternyata bukan hanya digunakan untuk menambah indahnya penampilan atau keagungan si pemakai, tetapi juga mempunyai fungsi lain, seperti:

Perhiasan Sebagai Lambang atau Simbol Status

Banyak sekali perhiasan yang bisa mengungkapkan jatidiri si pemakai, misalnya mahkota kerajaan atau Mamuli dari masyarakat Sumba yang biasa dikenakan oleh keluarga kerajaan, kalung Kalabubu dari Pulau Nias, yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang pemberani, dan masih banyak lagi.

Perhiasan Sebagai Penolak Bala atau Jimat

Hingga kini masih banyak masyarakat yang meyakini kekuatan dan khasiat sebuah kalung atau perhiasan lainnya. Masyarakat Sasak di Pulau Lombok meyakini bahwa sebuah kalung dapat berfungsi sebagai penolak bala, atau cincin yang memiliki kekuatan gaib tertentu dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan.

Perhiasan Sebagai Sarana Pengobatan

Konsep sakit dalam pemikiran tradisional selalu berkaitan dengan hal-hal yang berbau mistis, pada pengobatan tradisional barang-barang perhiasan menjadi salah satu sarana penyembuhan, tentunya dengan berbagai mantra, atau perhiasan tersebut dimasukkan ke dalam air yang telah diberi mantra untuyk kemudian airnya diminum.

Perhiasan Sebagai Perlengkapan Penari

Sebagai bangsa yang sangat kaya dengan seni budaya, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki seni tari yang lengkap dengan busana dan perhiasannya. Perhiasan untuk menari pada umumnya dibuat lebih meriah, mewah dan lebih anggun, dari segi warna umumnya menggunakan warna-warna cerah dan menonjolkan efek khusus bagi penontonnya.

Perhiasan Yang Dibawa ke Alam Kubur

Banyak temuan arkeologi membuktikan bahwa perhiasan bukan sekedar digunakan pada waktu seseorang masih hidup, ternyata didalam kuburan batu kuno seperti Kubur Batu Pandusa di Bondowoso, Waruga di Sulawesi Utara atau Batu Dolmen di Sumba, menyimpan banyak perhiasan seperti kalung, gelang dan perhiasan lain yang tergeletak di samping jasad yang di kubur. Mereka biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dalam masyarakatnya.

BUSANA DI INDONESIA PADA JAMAN MODERN

Jaman modern diawali dengan adanya revolusi industri di Negara-negara belahan Barat. Imbas dari revolusi tersebut sangat luar biasa dan menyusup pada hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk di Indonesia. Revolusi Industri melahirkan teknologi dalam banyak segi kehidupan manusia di antaranya industri pakaian/busana Unsur-unsur kehidupan lama yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat mendapat pupuk modernisme, kemudian bangkit dan berorientasi ke Barat (Abdulsyani, 1994:173).

Dalam urusan Tata Busana, pengaruh modern ini benar-benar sangat mencengangkan, apapun yang dihasilkan oleh perancang mode di Barat, dalam sekejap dapat disaksikan di sini melalui berbagai media cetak maupun elektronik.

Bangsa Indonesia yang sudah memiliki budaya berbusana sejak jaman dahulu, kini menjadi lebih kaya lagi dengan berbagai pilihan, sehingga lahir tradisi baru dalam berbusana, yaitu pengkategorisasian busana untuk macam-macam kepentingan atau peristiwa. Tidak jarang busana adatpun kini dimodifikasi dengan sentuhan-sentuhan modern untuk menyesuaikan tuntutan jaman.

Busana yang bersumber dari kebudayaan daerah, kini hanya dikenakan dalam peristiwa-peristiwa tertentu saja, seperti untuk kepentingan upacara adat. Sedangkan dalam hidup sehari-harinya, masyarakat pada umumnya lebih suka menggunakan Busana yang cenderung ke barat-baratan dengan berbagai pertimbangan antara lain praktis dalam arti mudah dikenakan untuk setiap kesempatan.